Reaktualisasi Peran Pelajar dan Santri Dalam Pembangunan Bangsa

masika-icmi

Permasalahan bangsa dan negara kita saat ini tidaklah sedikit. Meminjam istilah Alvin Toeffler, belum genap Bangsa Indonesia melewati gelombang I, abad pertanian kita sudah memasuki abad industrialisasi. Dan ketika kita sedang menyiapkan infrastruktur industri tiba-tiba gelombang ketiga yaitu abad informasi telah tiba. Sehingga bangsa kita mengalami perbenturan tiga gelombang sekaligus. Hal ini menyebabkan krisis yang nampak dalam bentuk gejala-gejala sosial-budaya yang negatif seperti dislokasi, deprivasi, pencabutan akar budaya (cultural uprooting), dan lain-lain.

[1]

Krisis ini semakin menjadi ketika krisis ekonomi melanda kita pada tahun 1997 dan hingga saat ini belum pulih. Sehingga timbullah krisis multidimensi pada bangsa dan negara kita.

Dewasa ini, masyarakat Indonesia –utamanya umat Islam—berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Kondisi ini dapat dilihat pada indikator-indikator agregat seperti rendahnya : tingkat pendapatan, penerimaan pajak, investasi, produktivitas modal dan tenaga kerja, rentannya stabilitas moneter dan neraca perdagangan, indeks pembangunan manusia, indeks good governance, dan clean government, penegakan hukum, dll; serta tingginya tingkat korupsi, money politics, pengangguran, kemiskinan, penyelundupan, ketergantungan kepada hutang luar negeri, kerusakan sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan hidup, dll.

Kondisi tersebut merupakan dampak dari interaksi berbagai faktor mikro, yaitu yang meliputi tingkat kualitas SDM, Institusi, dan Teknologi yang dimiliki bangsa, dan Faktor yang meliputi kondisi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik bangsa yang masih menunjukkan berbagai kelemahan. Kondisi agregat makro yang menunjukkan posisi Indonesia dalam peta pembangunan bangsa-bangsa yang memprihatinkan itu, merupakan kinerja dari perkembangan faktor kehidupan ekonomi, sosial, dan politik bangsa yang juga dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kondisi faktor kualitas SDM, institusi, dan teknologi bangsa.

Melihat kondisi diatas, maka krisis ini tidak boleh diremehkan. Indonesia adalah sebuah negeri Muslim, dan bangsa Indonesia adalah Bangsa Muslim (”Muslim Nation” bukan negara Islam ”Islam State”) sehingga maju-mundurnya bangsa Indonesia akan mengakibatkan kredit-deskredit kepada agama Islam dan umatnya.[2]

Sebagai umat mayoritas, Umat Islam memiliki saham terbesar untuk memikul tanggung jawab dan menyelesaikan masalah kita kini dan di sini. Dan tanggung jawab tersebut juga ada di pundak pelajar dan santri, intelektual muda Islam.

Kecendekiawanan

Dalam Al-Qur’an kaum intelektual dilukiskan sebagai ulu ‘l-albab (mereka yang memiliki pengertian mendalam” juga disebut al’ulama (kaum ilmuwan). Allah memberi jaminan keunggulan dan superioritas termasuk kemenangan dan kesuksesan kepada mereka yang beriman dan berilmu. Seperti firman-Nya dalam QS Al Mujadalah/58:11 yang berbunyi “…. Allah akan mengangkat mereka yang beriman diantara kamu dan yang mendapat anugerah ilmu ke atas bertingkat-tingkat (lebih tinggi). Dan Allah Maha Tahu tentang apa yang kamu kerjakan”.

Intelektual atau cendekiawan tidak hanya diukur dari gelar-gelar akademik semata tetapi kecendekiawanan adalah kepedulian terhadap lingkungannya, melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia. Kepedulian sebagai ciri khusus intelektual adalah perangkat operasional dalam melakukan transformasi sosial.

Kepeloporan umat Islam khususnya intelektual Islam sudah cukup teruji. Gerakan nasionalisme salah satunya dipelopori oleh gerakan intelektual Islam. Berdirinya Syarikat Dagang Islam (1905), Muhamadiyah (1912), Al Irsyad (1914), Matlaul Anwar (1916), Nahdlatul Ulama (1926), dll menjadi pelopor gerakan anti kolonialisme.[3] Kaum intelektual muda Islam mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) yang merupakan salah satu kontributor lahirnya Sumpah Pemuda yang menjadi cikal bakal nasionalisme Indonesia. Islam berfungsi sebagai kelengkapan ideologis yang amat kuat untuk melawan penjajah Barat. Kaum Santri, para kiai, dunia pesantren, dan intelektual muda Islam berfungsi sebagai ”reservoir” terpenting kesadaran kebangsaan dan patriotisme.

Mereka merupakan tonggak-tonggak fondasi rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang tak tergoyahkan, yang di atas fondasi itu kelak ditegakkan nasionalisme dan patriotisme Indonesia modern. Maka tak mengherankan sama sekali bahwa gerakan nasionalisme modern di Indonesia dengan penampilan kerakyatan (populis) yang tegas dimulai oleh kalangan Santri, dengan pembentukan Syarikat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Syarikat Islam. Juga suatu hal yang sangat wajar bahwa cita-cita kemerdekan nasional mula-mula muncul dari kalangan Islam, Syarikat Islam.

Bung Karno merupakan anak didik HOS Tjokroaminoto, langsung ataupun tidak langsung mendapatkan ilham semangat nasionalismenya dari gerakan Islam. Bung Hatta adalah tokoh yang tumbuh dalam lingkungan keagamaan yang kuat, dengan ayahandanya seorang pemimpin suatu perkumpulan tarekat di Sumatera Barat. Tegasnya, umat Islam berhasil menjalankan fungsinya sebagai pangkal tolak dan pengembangan kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, dan perlawanan kepada penjajahan.

Mohammad Natsir adalah salah satu intelektual muda Islam yang sangat menonjol pengetahuan keislamanannya. Natsir mampu memberi tafsiran Pancasila sebagai bagian dari sistem-sistem Islam. Walaupun pada akhir tahun 50-an ketika Ir. Sukarno menyatakan Pancasila adalah nilai murni yang tidak ada kaitannya dengan Islam membuat Natsir menyatakan bahwa Pancasila sebagai sistem sekular. Natsir pula yang menyuarakan perlunya dasar negara Islam sebagai landasan negara karena menurutnya dapat dipertanggungjawabkan dari konteks historis maupun sosiologis-antropologis.[4]

Mohammad Hatta lain lagi, beliau tidak melihat perlunya didirikan sebuah negara agama atau negara yang secara resmi berlandaskan agama. Bagi beliau, masalah yang terpenting adalah substansinya, yaitu keadilan, yang harus diperjuangkan untuk dilaksanakan oleh sebuah negara. Dan orang Muslim, tanpa perlu menamakan negara mereka sebagai ”Negara Islam (Indonesia) mungkin akan mendapati basis etis substansi ini dalam ajaran Islam”.[5]

Kepeloporan intelektual Islam jaman penjajahan ternyata membawa bekas hingga hari ini. Sehingga Islam jauh lebih efektif sebagai senjata ideologis-politis daripada sebagai sistem ajaran yang lengkap dan serba meliputi. Wacana negara Islam adalah salah satu dari contoh menguatnya dimensi ideologis-politis Islam di Indonesia.

Sehingga setiap kali membincangkan relasi negara dengan Islam yang muncul adalah phobia terhadap Islam. Sensitifitas inilah yang harus dicairkan oleh para intelektual-intelektual muda Islam saat ini. Karena permasalahan bangsa sangat beragam tidak hanya melulu pada persoalan ideologi tetapi banyak bidang yang membutuhkan tafsir dan solusi melalui pendekatan nilai-nilai Islam

Peran Pelajar dan Santri Dalam Pembangunan Bangsa

Permasalah bangsa sangatlah kompleks. Bila melihat data, kita akan sangat tercengang mengetahui sekitar 35 kematian bayi terjadi per 1000 kelahiran hidup (BPS,2002). Begitupun angka kematian ibu mencapai 37 orang setiap 100.000 kelahiran (BPS,2002). Kualitas manusia Indonesia masih randah mengacu pada data Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2005 yang baru mencapai 0,697. Angka ini menunjukkan peringkat ke-110 dari 117 negara. Untuk kawasan Asean jauh berada di bawah peringkat negara-negara Asean lainnya.

Tingkat partisipasi angkatan kerja juga melorot. Sebelum tahun 2006 tingkat partisipasi angkatan kerja mencapai 17-18 persen dari jumlah angkatan kerja. Pada Februari 2006 sudah merosot di bawah 17% (Kompas, 04/10/06). Angka produktivitas bangsa kita juga masih rendah. Angka produktivitas 100 manusia Indonesia baru sebanding dengan angka produktivitas 1 orang Amerika (dilihat dari sisi pendapatan).

Tingkat kemiskinan mengalami hal serupa. Bila pada tahun 2005 jumlah orang miskin mencapai 16% maka pada tahun 2006 tercatat kenaikan 1,8% orang miskin sehingga angkanya mencapai 17,8% (BPS,2006). Catatan Bank Dunia menyebutkan 49% penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. 49% berarti sekitar 109 juta jiwa yang hidup di bawah USD 2 per hari.

Persoalan korupsi, kolusi, dan neoptisme juga belum lenyap dari bumi Indonesia. Transparancy Internasional pada tahun 2005 menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mencapai 2,2. IPK ini masih tergolong tinggi.

Akibatnya pengangguran mencapai 11 juta jiwa, busung lapar menimpa 1,67 anak-anak, dan 11 juta anak usia sekolah tidak dapat mengenyam pendidikan. Keunggulan dan daya saing pendidikan Indonesia yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja lulusan pendidikan, berada posisi 12 dari 12 negara di Asia (Data Indikator Ekonomi PERC, 2003).

Data di atas adalah potret Indonesia saat ini. Pertanyaannya adalah Bagaimana kita dapat menyongsong masa depan yang lebih baik yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur? Apakah bangsa kita dapat bersaing dengan negara-negara lain? Dan apakah umat Islam sebagai umat mayoritas (pelajar dan santri) dapat menyelesaikan permasalahan bangsa tersebut?

Apakah kita harus mengakui sebuah pembahasan dalam majalah populer konservatif Reader’s Digest edisi Asia yang terbit Desember 1988 (salah satu majalah dengan oplah terbesar di dunia) yang mengatakan bahwa Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju dalam waktu dekat ini karena ”Indonesia has lousy work ethic and seriuos corruption” (Indonesia mempunyai etika kerja yang cacat dan korupsi yang gawat). Dan harus puas menjadi menjadi”back yard” (halaman belakang) kawasan Asia?

Sebagai anak bangsa, kita harus meyakini bahwa bangsa ini akan tetap berjaya. Karena Goldman Sach, salah satu bank investasi terbesar di dunia pada akhir 2005 memasukkan Indonesia ke dalam kelompok N-11 (Next Eleven) yaitu kumpulan negara dengan jumlah penduduk besar di dunia dan berpotensi besar di belakang BRICs (Brasil, Rusia, India, and China). BRICs diproyeksikan akan menjadi pesaing potensial negara maju yang tergabung dalam kelompok G-7. Goldman Sach memprediksi ekonomi Indonesia tahun 2025 akan sebesar di antara Kanada dan Turki. Dua puluh lima tahun kemudian, tahun 2050, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui Jepang, Inggris, Jerman, Perancis, Korea, dan Turki[6].

Tentunya sebagai bangsa yang besar, Bangsa Muslim terbesar di dunia, kita tidak ingin melihat bangsa dan negara kita terus terpuruk. Langkah progresif dan cerdas harus dilakukan para Intelektual-intelektual muda Islam.

Islam yang sangat kompatibel dengan ilmu pengetahuan sangat potensial untuk ikut menyelesaikan persoalan bangsa. Sebagaiman penelitian Joseph Campbell, seorang ahli mitologi yang mengatakan ”…..Islam memperoleh, menerima, dan bahkan mengembangkan warisan klasik. Selama lima atau enam abad yang kaya terdapat keberhasilan Islam yang mengesankan dalam pemikiran ilmiah, percobaan dan penelitian, terutama kedokteran…..”[7]

Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan itu dalam kerangka keimanan. Karena kesatuan iman dan ilmu itu maka para ilmuwan Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang, pada umumnya adalah tetap sekaligus agamawan yang saleh, seperti dibuktikan oleh Ibn Sina, Ibn Rusyd, Abdussalam, dll.

Karena keunggulan personal dalam masyarakat sangat menentukan, maka peran Pelajar dan Santri sangat strategis. Untuk itu, saat ini Pelajar dan Santri dituntut untuk mengembangkan keintelektualannya dengan pemahaman ajaran Islam dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa. Melalui upaya melakukan tafsir-tafsir baru dan kontekstualisasi ayat-ayat Qur’an serta ijtihad semoga nilai-nilai Islam dapat menjadi solusi yang tepat.

Seperti persoalan korupsi misalnya, Islam dan umat Islam harus tegas dan merujuk pada ajaran Islam untuk membentuk karakter anti korupsi. Begitu pula dengan persoalan produktivitas kerja atau etos kerja.

”Etos” menurut pengertian kamus Webster’s menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani (ēthos) yang bermakna watak dan karakter. Maka secara lengkapnya ”etos” adalah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari perkataan ”etos” terambil pula perkataan ”etika” dan ”etis” yang merujuk kepada makna ”akhlaq” atau bersifat ”aklaqi” yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok termasuk suatu bangsa.  Juga dikatakan bahwa ”etos” berarti jiwa khas suatu kelompok manusia[8], yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni, etikanya.

Jika kita sebagai bangsa tidak dapat menumbuhkan etos kerja yang baik maka kemungkinan besar bangsa kita akan tetap tertinggal oleh bangsa-bangsa lain, termasuk oleh bangsa-bangsa tetangga dalam lingkungan Asia Tenggara atau lebih-lebih lagi Asia Timur. Maka dalam waktu seperempat abad yang akan datang, ketika seluruh bangsa Asia Timur telah menjadi negara industri, Indonesia akan tertinggal.

Hemat saya, pembentukan karakter menjadi faktor pertama dan utama yang harus dilakukan. Seperti bunyi sebuah syair ”Bangsa-Bangsa Itu Akan Tegak Selama Akhlaqnya Tegak, Dan Bila Akhlaqnya Sirna, Maka Sirna Pulalah Bangsa-Bangsa Itu”.

John Gardner, cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan jaman JF Kennedy, pernah mengatakan “No nation can achiver greatness unless it belives in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika tidak bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban yang besar).

Frank Outlaw menjelaskan ”your thoughts become words. – your words become actions. -your actions become habits. – your habits become character. – your character becomes your destiny. (Keyakinanmu akan menjadi Perkataanmu – Perkataanmu akan menjadi aksimu – Aksimu akan menjadi kebiasaanmu – Kebiasanmu akan menjadi karaktermu – dan Karaktermu akan menjadi nasibmu).

Keyakinan kita akan menentukan nasib kita. Dan hal tersebut memang terbukti. Bagaimana Amerika menjadi maju adalah karena Etika Protestan, Jepang maju karena Etika Shinto, dan China menjadi maju karena Etika Konfusian. Seharusnya negara-negara muslim juga menjadi negara-negara maju dengan Etika Islamnya.

Islam dapat mengubah sejarah apabila perilaku pemeluknya melakukan perubahan dengan tindakannya. Bahwa kekuatan kaum Muslim terletak pada tindakan mereka, bukan pada teks-teks suci yang mereka yakini. Secara potensial, agama Islam  sebagaimana dijumpai dalam sumber ajarannya yakni Alquran amat ideal, unggul, dan lengkap dalam hal meletakkan dasar-dasar bagi pegangan hidup.

Dalam ajaran Islam kita mengenal Ihsan. Ihsan berarti optimalisasi hasil kerja, dengan jalan melakukan pekerjaan sebaik mungkin bahkan sesempurna mungkin. Dengan tidak bersikap ”setengah-setengah”, ”mediocre”, ”separuh hati” dalam menciptakan segala sesuatu. Islam juga mengajarkan ”manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi eksistensi kemanusiaan. (Seperti Rene Descartes ”cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.). QS Al-Insyirah 94:7 menyatkan ”Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah dan kepada Tuhanmu berusahalah mendekat”.

Secara tegas Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa “Penghargaan dalam Jahiliyah berdasarkan keturunan, dan penghargaan dalam Islam adalah PENGHARGAAN TERHADAP PRESTASI KERJA (Merit System).

Telah jelas bahwa Islam memberikan prinsip-prinsip dan etika yang positif. Sudah saatnya kita, intelektual muda Islam, mengembangkan etika Islam guna mendukung pembangunan. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa usaha dan kerja keras kita semua, intelektual muda Islam, menggunakan sumber ajaran Islam untuk membentuk karakter umat dan bangsa akan berimplikasi positif. Melalui tafsir-tafsir baru dan kontekstualisasi ayat-ayat Qur’an serta ijtihad dapat mewarnai perjalanan bangsa ini. Dan saya optimis permasalahan yang ada saat ini dapat dipecahkan bersama-sama oleh seluruh umat muslim dan juga umat lainnya.

Sehingga akan terbangun masyarakat Indonesia menjadi masyarakat madani, yang maju, mandiri, sejahtera, berdaya saing, dan amanah. Masyarakat madani yang dimaksud adalah masyarakat yang memenuhi lima kriteria kualitas sebagai berikut. Pertama, masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak, moral, etika, dan supremasi hukum sebagai resonansi dari kualitas iman dan taqwa. Kedua, masyarakat yang mampu  berpikir logis (rasional), sistematis, dan konsisten sebagai resonansi dari kualitas fikir. Ketiga, masyarakat yang mampu berkarya dan bekerja secara profesional, efisien, dan produktif. Keempat, masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang sejahtera. Kelima, masyarakat dengan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta berketurunan yang berkualitas.

Penutup

Dengan adanya globalisasi ekonomi maka pardigma baru pembangunan: knowledge-based economy (KBE) telah menggeser paradigma lama yang bertumpu pada modal fisik dan modal sumber daya alam. KBE mendasarkan aktivitas perekonomian yang bertumpu pada dukungan ilmu pengetahuan dan tekonologi (iptek) baik teknologi informasi maupun komunikasi. Iptek menjadi elemen utama KBE, yang berperan penting dan memberi sumbangan signifikan pada pertumbuhan ekonomi[9].

Karena alam hanya memberi kesempatan untuk berekonomi tetapi manusialah yang menimbulkan ekonomi itu[10]. Alam telah memberikan kemungkinan untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang sebesar-besarnya. Tetapi manusialah yang harus mengerjakannya. Dalam konteks inilah maka setiap negara dituntut memiliki keunggulan kompetitif. Daya saing bangsa sangat tergantung pada institusi pendidikan khsusunya perguruan tinggi sebagai basis pengembangan iptek. Yang didalamnya adalah para pelajar dan mahasiswa dan santri.

KBE (knowledge-based economy) berpijak pada tesis: ilmu pengetahuan merupakan kunci dalam proses produksi sekaligus menjadi the driving factor of the economic develompment. Jika pada abad-abad lampau tanah dan pabrik menjadi aset ekonomi paling berharga serta sumber utama kemakmuran dan kesejahteraan, maka sekarang ini imlu pengetahuanlah yang menjadi aset ekonomi paling utama dan faktor determinan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Imlu pengetahuan merupakan komponen sangat vital untuk membangun kapasitas dan meningkatkan produktivitas, melampaui kekuatan modal dan tenaga kerja[11].

Untuk itu para pelajar dan santri tidak hanya berhenti mempelajari ilmu agama saja tetapi juga harus mempelajari ilmu-ilmu umum, khususnya elmu eksakta. Karena dalam KBE profesi yang banyak dibutuhkan adalah ilmuwan, insinyur, teknisi, dan peneliti yang bergerak di bidang riset dan pengembangan.

Bung Hatta dalam sambutan tertulisnya pada Peringatan Tentara Pelajar tahun 1977 menyatakan bahwa,”Sekarang tugas negara dan bangsa kita yang terpenting ialah melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur. Tugas yang ditetapkan dalam sila kelima Pancasila, yaitu, mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus diusahakan mencapai selekas-lekasnya. Inilah tugas terutama bagi pemuda Indonesia sekarang.”[12]

Kutipan sebuah ayat Qur’an surat Ar Raad13:11 yang berbunyi ”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Lewat ayat itulah kita semua khususnya intelektual muda Islam untuk berpikir, bekerja keras, dan mengabdi untuk kemajuan umat, bangsa, dan negara tercinta INDONESIA. [gr]


[1] Nurcholis Madjid. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta. Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 2002.

 

[2] Ibid.

[3] Agussalim Sitompul. Menyatu dengan Umat menyatu dengan Bangsa. Jakarta. Logos, 2002

[4] Kholid Santoso (Ed.). Islam Sebagai Dasar Negara. Bandung. Sega Arsy, 2004. hal 18

[5] Nurcholis Madjid. Islam Agama Kemanusian  Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta, Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina. 1995

[6] Cyrillus Harinowo. Koran Kompas. 1 Agustus 2007

[7] Nurcholis Madjid, 1995.

[8] John M. Echols dan Hassan Shadily,  Kamus Inggris-Indonesia

[9] Alhumami Amich. Republika, 2007.

[10] Bruno Dietrich seorang ahli geografi ekonomi. Lihat Muh Hatta Kumpulan Pidato II. 1983

[11] Alhumami Amich. Republika, 2007.

[12] Widjajaw I.Wangsa dan Swasono Meutia F. Muh Hatta Kumpulan Pidato II. Jakarta, Inti Idayu Press, 1983.